Berita

LBH Pers juga AJI Ibukota Skor RUU Penyiaran Buat Jurnalisme Indonesi Menuju Kegelapan

22
×

LBH Pers juga AJI Ibukota Skor RUU Penyiaran Buat Jurnalisme Indonesi Menuju Kegelapan

Sebarkan artikel ini
LBH Pers juga AJI Ibukota Poin RUU Penyiaran Buat Jurnalisme Indonesi Menuju Kegelapan

JAKARTA – Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers juga Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Ibukota Indonesia menganggap draf Rancangan Undang-Undang (RUU) Penyiaran akan mengakibatkan jurnalisme Negara Indonesia menuju masa kegelapan. Salah satunya yang digunakan paling krusial pada RUU yang dimaksud adalah, Standar Isi Siaran (SIS) yang tersebut memuat batasan, larangan, juga kewajiban bagi pelaksana penyiaran juga kewenangan KPI yang digunakan tumpang tindih dengan Dewan Pers.

Sebagaimana yang digunakan terdapat pada draf tertanggal 27 Maret 2024, revisi UU Penyiaran yang disebutkan secara nyata membatasi kerja-kerja jurnalistik maupun kebebasan berekspresi secara umum. Negara pada hal ini pemerintah, kembali berniat untuk melakukan kendali berlebih (overcontrolling) terhadap ruang gerak warga negaranya.

Lapisan pelanggaran itu, menurut LBH Pers kemudian AJI DKI Jakarta dapat mengkhianati semangat perwujudan negara demokratis yang telah terjadi terwujud melalui Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. UU yang dimaksud dicita-citakan melindungi kerja-kerja jurnalistik juga menjamin pemenuhan hak umum melawan informasi.

Maka dari itu, LBH Pers dan juga AJI Ibukota Indonesia memberi catatan kritis terhadap revisi UU Penyiaran sebagai beriku:

Pertama, larangan terhadap penayangan eksklusif jurnalistik merupakan wujud keengganan pemerintah pada melakukan pembenahan pada penyelenggaraan negara. Alih-alih memanfaatkan item jurnalistik investigasi eksklusif sebagai sarana check and balances bagi berlangsungnya keberadaan bernegara, pemerintah justru memilih untuk menyembunyikan kanal informasi tersebut. Hal ini bukanlah fenomena yang digunakan mencengangkan mengingat kultur pemerintahan Negara Indonesia yang dimaksud anti-kritik, bukan berorientasi pada perbaikan, lalu enggan berpikir.

Kedua, larangan terhadap penayangan isi siaran serta konten siaran yang dimaksud menyajikan perilaku lesbian homoseksual biseksual dan juga transgender merupakan wujud diskriminasi terhadap kelompok LGBTQ+, yang digunakan dapat semakin mempersempit ruang-ruang berekspresi sehingga melanggengkan budaya non-inklusif pada kerja-kerja jurnalistik.

Ketiga, pemerintah menggunakan kekuasaannya secara eksesif melalui pasal-pasal pemberangus demokrasi berdalih proteksi terhadap penghinaan lalu pencemaran nama baik yang semakin dilegitimasi melalui RUU Penyiaran. Alih-alih mempersempit ruang kriminalisasi bagi jurnalis maupun masyarakat pada umumnya, eksistensi pasal elastis ini justru semakin diperluas penggunaannya.

Keempat, pemerintah mencoba mereduksi independensi Dewan Pers kemudian fungsi UU Pers. Pasal 8A huruf q juncto 42 ayat (1) lalu (2) pada draf revisi UU Penyiaran menyebabkan tumpang tindih antara kewenangan KPI dengan kewenangan Dewan Pers.

Pasal yang disebutkan juga menghapus Kode Etik Jurnalistik serta UU Pers sebagai rujukan di menganggap siaran-siaran komoditas jurnalistik, mengalihkan penilaian menggunakan P3 serta SIS. Hal ini dapat mengakibatkan ketidakpastian hukum pada mekanisme penyelesaian sengketa pers.

Artikel ini disadur dari LBH Pers dan AJI Jakarta Nilai RUU Penyiaran Buat Jurnalisme Indonesia Menuju Kegelapan